31 Juli 2008

Kuasa Perempuan

Salam,

Kasus BLBI yang belakang kembali ramai dibincangkan di berbagai media dan menyeret sejumlah nama penting nampaknya benar-benar telah menampar muka bangsa ini. Lebih-lebih bagi kaum feminis lantaran salah satu aktor penting dalam proyek bagi-bagi duit tersebut juga menampilkan sosok perempuan yang kita kenal dengan nama Artalita Suryani. Tidak disangka ada sebuah fenomena yang sangat begitu luar biasanya dengan kemunculan sosok yang dikenal sebagai 'Ratu Lobi' ini. Sebab, dalam khazanah budaya kita perempuan senantiasa didudukkan pada porsi yang serba lemah dan harus menurut pada kungkungan laki-laki. Bahkan, dalam filosofis budaya Jawa kita kenal pula bahwa perempuan hanya menjadi bumbu pelengkap bagi kekuasaan laki-laki. Meskipun di satu sisi dengan kondisi semacam ini sebenarnya keberadaan kaum hawa ini sangat dimungkinkan adanya penyetiran terhadap kekuasaan laki-laki. Salah satu contoh kasus, kekuasaan raja-raja Jawa senantiasa bermasalah ketika dikaitkan dengan keberadaan perempuan. Ken Arok misalnya, seorang penguasa yang sukses menapaki tampuk kekuasaannya dengan gagah berani ini bahkan harus dilumpuhkan oleh peran Ken Dedes. Konspirasi yang dimainkan secara cerdas oleh Ken Dedes telah mematikan karakter kekuasaan Ken Arok sedemikian halusnya. Hingga hampir tak tersentuh.

Dalam beberapa mitos di belahan dunia lain pun senantiasa kita temukan hal serupa. Dewa Zeus yang merupakan dewa tertinggi dalam keyakinan peradaban Yunani Kuno harus puas di bawah kendali Dewi Hera yang selalu bermusuhan dengannya. Bahkan, dengan kesemena-menaan Hera, Zeus tetap saja tak dapat berbuat banyak. Malah ia hanya menyerahkan persoalan itu kepada Hercules sang anak dewa itu dari keturunan manusia. Hal ini sungguh menampakkan betapa lemahnya posisi kaum Adam.

Dengan demikian, sebenarnya kedudukan perempuan amat sangat menentukan konstalasi politik secara tidak langsung. Dan pengakuan ini tidak hanya harus menjadi isapan jempol belaka. Ingat, dalam sebuah ungkapan pernah pula disinggung 'Perempuan adalah tiang agama'. Ungkapan ini jelas membawa sebuah konsekuensi yang sangat besar. Sebab, dalam ungkapan selanjutnya dikatakan pula 'Agama adalah tiang negara'. Jika kedua ungkapan tersebut disilogismekan, maka dalam hal ini dua pernyataan tersebut akan diperoleh sebuah titik temu 'Perempuan adalah tiang negara'.

Dari pernyataan tersebut sudah sangat jelas bahwa kegoyahan kekuasaan sebenarnya tidak disebabkan adanya percikan api akibat gesekan politik yang dimainkan aktor-aktor politik. Atau adanya proses politik yang sengaja digulirkan oleh kelompok-kelompok tertentu dalam meraih kekuasaan. Melainkan ini disebabkan adanya peranan perempuan di balik ini semua. Dalam hal ini perempuan memang tidak menampilkan sosoknya secara nyata namun kaum hawa ini hanya menjadi sosok pengukur waktu yang berada di balik layar dalam sebuah pertunjukan panggung dunia politik. Bagaimana tidak, kondisi tertekan yang dirasakan perempuan semakin lama semakin mendekati titik kulminasi. Semakin ia ditekan oleh sebuah konspirasi politik, maka kita tinggal menunggu ledakan dahsyat yang segera akan digulirkannya.

Saya ingat betul pada sebuah film yang menceritakan tentang Yunani Kuno yang dimainkan oleh Tom Cruise. Troy judulnya. Dalam film tersebut jelas perempuanlah yang memegang peran penuh atas konspirasi yang terjadi. Bukan Archiles maupun kaum laki-laki. Dalam film tersebut, menurut kacamata saya, Helena-lah sang pemegang kuncinya.

Dalam kasus yang kini ramai dibincangkan, Artalita menjadi tokoh kunci yang sebenarnya kalau mau ditelusuri lebih lanjut, akan dapat memunculkan dampak yang sangat luar biasa. Sayangnya, vonis hukuman telanjur dijatuhkan. Yang ini sama artinya dengan kasus ini akan segera berhenti. Sebab, semua kalangan yang terlibat dalam kasus ini tahu persis jika Artalita berhasil membuka pintu kebobrokan kekuasaan, maka semuanya akan hancur. Kekuasaan atas negara yang kini berada di genggaman laki-laki, dapat dipastikan akan terburai. Negara hanya menjadi bangkai yang tak berharga lagi.

Di satu sisi, saya melihat fenomena ketokohan Artalita patut menjadi catatan khusus bagi negara ini yang tengah terpuruk oleh kegamangannya sendiri. Di sisi lain kemunculan Artalita yang cukup mencengangkan kita, seharusnya menjadi sadar diri bahwa kekuasaan politik dengan model apapun itu. Dari demokrasi sampai theokrasi tetap harus memberikan porsi secara proporsional terhadap kaum yang sebenarnya tidak 'lemah' ini. Tidak hanya karena jumlahnya yang lebih banyak dari laki-laki. Melainkan karena perempuan sebenarnya makhluk yang sangat sulit untuk diterjemahkan oleh kekuasaan laki-laki.

Saya jadi teringat apa yang disampaikan Cak Nun (Emha Ainunnajib) dalam sebuah pengajian yang digelar beberapa tahun lalu di sebuah kampus di Semarang. Dia mengungkapkan dengan gayanya yang nyeleneh tentang konsep imam dalam shalat. Ditanyakannya pada semua yang hadir, "Kenapa perempuan selalu ditempatkan di shaf belakang setelah shaf terakhir laki-laki?"

Beberapa dari yang hadir menjawab, "Ya karena itu aturannya."

Cak Nun hanya tertawa mendengar itu. Dikatakannya, "Kalau itu karena sebuah aturan, habis perkara. Kajian akan selalu terhenti di situ dan tidak akan dapat mewacanakan konsepsi kekuasaan yang sesungguhnya. Nah, saya tanya lagi. Kenapa ada aturan semacam itu?"

Yang hadir hanya bengong.

"Ya karena perempuan makhluk terindah. Saking indahnya, perempuan selalu memunculkan multitafsir atasnya. Coba kalau perempuan ditempatkan di depan makmum laki-laki? Pasti akan memunculkan banyak pikiran dalam otak laki-laki. Bahkan, tidak menutup kemungkinan jamaah shalatpun akan bubar. Untuk itu, perempuan ditempatkan di belakang. Dan satu hal, karena makhluk terindah maka mereka ini harus dijaga. Bukan dimanfaatkan." pesannya.

Salam,

Robert Dahlan

25 Juli 2008

Pakailah Celanamu!

Dewasa ini banyak berkembang beberapa video maupun foto-foto yang menampilkan ketertelanjangan anak-anak manusia. Mereka ini bahkan dengan tanpa malu-malu berpose sedemikian rupa agar segala yang ingin ditonjolkan dari dirinya ini nampak jelas dan dapat dinikmati oleh orang banyak. Hingga pada suatu saat, mereka ini justru merasa bangga dengan tampilan yang 'ala kadarnya' itu. Tampilan yang sangat membuat jakun laki-laki naik turun dan membuat selaput mata kaum adam tidak rela untuk terkatup sedetikpun. Seolah ini semacam hipnotis atau sihir yang mampu memengaruhi kaum adam ini untuk tetap teguh dengan memandangi pose-pose yang sangat 'polos' itu.

Melihat kenyataan ini, saya lantas berpikir. Kenapa hal ini semakin menggila? Trend-kah? Atau hanya sebuah euforia belaka? Atau jangan-jangan memang itu sudah merupakan sebuah rangkaian panjang dari sebuah mata rantai sejarah masa lalu? Kalau memang iya, itu artinya kita tidak pernah melakukan perubahan terhadap peradaban dunia. Dan cenderung hanya mengulangi sejarah masa lampau dengan hasil-hasil peradabannya.

Di sisi lain, ketika banyak orang membincangkan hal ini sebagai trend yang berkembang di masyarakat akibat kemajuan teknologi yang memberikan kemudahan bagi umat manusia yang disalahgunakan, nampaknya anggapan yang demikian ini justru hanya mendangkalkan aras pemikiran yang lebih cerdas. Lebih-lebih dengan mengkaitkan masalah moral. Ini hanya semacam omong kosong yang siap dibuang ke dalam tong sampah. Sebab, pada prinsipnya kemajuan teknologi tidak pernah memberikan ruang bagi kebobrokan moral. Logikanya, justru teknologi hadir sebagai fasilitas yang memberikan kemudahan bagi umat manusia untuk dapat melakukan aktifitasnya sehari-hari. Itu artinya, penciptaan atau dalam setiap temuan baru mengenai perkembangan teknologi, didasari prinsip moral yang sangat luar biasa. Coba bayangkan, kalau tidak ada James Watt, mana ada kita akan kenal dengan yang namanya mesin uap? Begitu pula jika Einstein tidak memikirkan tentang sesuatu yang pada mulanya dianggap sia-sia belaka, tentunya kita tidak pernah mengenal apa itu energi nuklir? Dalam hal ini, ingin saya sampaikan, sebuah karya jenius--apapun bentuknya--merupakan hal yang patut kita syukuri bukan kita hujat. Kalau toh kemudian muncul penyalahgunaan, itu artinya orang-orang yang bersangkutan ini telah melakukan sebuah dosa terhadap sang kreator. Mereka-mereka ini justru tidak bersyukur sudah diberi kemudahan melalui tangan-tangan dan otak-otak yang luar biasa cerdas ini. Atau malah terlalu bersyukur sehingga lupa kacang akan kulitnya. Artinya mereka yang melakukan penyalahgunaan hasil pemikiran orang-orang hebat ini lupa tanggung jawabnya atas anugerah yang dilimpahkan Tuhan yang telah menciptakan manusia-manusia yang mungkin terlalu sedikit jumlahnya ini di dunia.

Kalau ini kemudian dianggap euforia, saya justru akan menanyakan. Euforia macam apa? Justru akan lebih tepat bila ini digolongkan sebagai ketidaksiapan umat manusia untuk menerima pemikiran orang-orang yang melampaui zamannya. Sebuah pengingkaran ketidakmampuan manusia-manusia yang biasa-biasa saja, yang tidak mampu mengembangkan teknologi. Dengan kata lain, ini sebuah bentuk kebodohan.

Nah, kalau begitu beberapa orang-orang penting di negeri ini yang sempat melakukan 'khilaf' itu bodoh dong? Ya memang! Kebodohan mereka ini memiliki pasal berlapis. Pertama, jika dikaitkan dengan masalah pengulangan peradaban, maka sebenarnya mereka ini justru orang paling bodoh sedunia. Bagaimana tidak, mereka ini kan seharusnya menjadi pioner atau katalisator dari perubahan zaman. Mereka pula yang seharusnya merumuskan dan mengarahkan bentuk-bentuk perubahan peradaban zaman yang tentunya lebih maju. Namun ironisnya, justru mereka mengalami pendangkalan pola pikir dalam melakukan terobosan-terobosan zaman. Mereka gagal membangun diri mereka sebagai figur yang mempunyai integritas serta desikasi terhadap kemajuan bangsa. Lah ini, kok malah bikin ulah dengan memotret atau bahkan merekam adegan 'blak-blakan' mereka sendiri?

Kedua, manakala hal tersebut dikaitkan dengan ketidaksiapan atau kekagetan mereka dalam menerima perkembangan zaman, maka mereka inilah tokoh-tokoh yang semestinya tidak kaget atau harus siap menerima apapun. Kok mereka ini malah justru memperlihatkan ketololan mereka dengan bangga? Buka-bukaan di kamar hotel, main kuda-kudaan di spring bad hotel, kemudian yang paling tolol lagi, mereka selalu berdalih 'itu sudah lama sekali dilakukan' atau 'itu bukan saya itu orang lain'. Lah sudah tahu akan malu eh, ini malah bikin malu sendiri? Dan yang lebih memilukan lagi ternyata mereka ini orang yang secara tidak langsung menunjukkan dirinya sebagai orang yang gagal produk dalam memanfaatkan teknologi. Lah masih kaget begitu?

Ah, mungkin benar pula yang dituliskan Taufiq Ismail dalam puisinya 'Malu [Aku] Jadi Orang Indonesia'. Bagaimana tidak, pejabatnya nggak tahu malu begitu. Kan akhirnya rakyat yang harus menanggung malu pejabat yang tolol itu. [Robert Dahlan Al Sadani]

Galeriku

Berikut adalah galeri desain dan beberapa lukisan saya....