05 Agustus 2008

Momen Tujuhbelasan Momen Bangkitnya Seniman Semarang

Salam,

Entah dari mana awalnya muncul ide gila itu. Adin dengan segenap kekuatan komunitasnya Hysteria nampak antusias untuk mewacanakan kembali kebangkitan dunia seni di kota Semarang yang belakangan ini mulai dicabik oleh kekuasaan. Kali ini, mereka mencoba menerobos adab yang tengah digayuti masyarakat Semarang yang mulai kehilangan nilai estetika ini dengan mendobrak pintu-pintu yang selama ini membelenggu mereka, para seniman muda khususnya. Saya kira hal itu bukanlah hal yang istimewa bagi masyarakat Semarang, namun patut untuk dicatat dalam sejarah dunia kesenian kota Semarang yang telah lama hanya menjadi barang loakan yang hampir basi. Bahkan, entah apakah saya kali ini sedang berprasangka buruk atau bagaimana – kekuasaan telah benar-benar dengan nyata-nyata menjauhkan nilai estetika ini dari akar rumputnya yaitu masyarakat. Sehingga wajar jika kemudian kemunculan berbagai polemik mengenai politik tidak dapat dijawab dengan baik oleh pemerintahan di bawah kekuasaan Sukawi Sutarip ini. Tapi, semoga saja kali ini saya sedang berburuk sangka.

Namun dalam beberapa hal, patut dicatat pula, mandulnya dunia kreativitas masyarakat ini dalam berkesenian paling tidak telah menyodorkan di hadapan kita sebuah kenyataan bahwa perkawinan masyarakat dengan kesenian di kota yang kalau saya lihat tengah tertatih-tatih untuk mempersolek dirinya menjadi kota metropolitan ini telah gagal atau bahkan digagalkan oleh sang penghulu yang bernama kekuasaan. Bahkan, ketika saya menanyakan kepada Adin saudara saya ini tentang keterlibatan pemerintah kota Semarang dalam gelaran festival seni tujuhbelasan yang mengambil tema 17-an konsoemsi ataoe mati ini mengaku, tidak sama sekali mendapatkan dukungan dari pemerintah kota Semarang. Katanya, ketika ia harus mengurusi pengajuan proposal kegiatan tersebut, ia harus berhadapan dengan birokrasi yang sama sekali tidak jelas arahnya. Lempar-melepar bola api pun seolah menjadi pemandangan yang indah bagi mereka yang duduk dengan rapi di belakang meja kekuasaan ini. Terus terang, saya agak jengkel dengan hal tersebut. Namun kembali saya bertanya, kenapa harus marah? Toh itu tetap tidak akan dapat mengubah keadaan. Mereka, yang notabene memiliki kekuasaan ini tetap saja tidak akan mengubah sikap mereka menjadi macan lunak. Yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana menunjukkan pada dunia, bahwa eksistensi seniman di kota Semarang yang menjadi kaum terpinggir ini tetap menampakkan gaungnya. Bagaimana menunjukkan pada dunia bahwa pembonsaian seniman di kota Semarang – yang entah sengaja atau tidak dilakukan kekuasaan itu tetap menarik untuk dilihat.

Adin, mungkin salah satu dari sekian seniman atau pegiat seni di kota Semarang yang tergolong muda. Mungkin karena mudanya ia, maka wajar jika energi yang dihasilkannya pun prima. Kerja keras tentu menjadi hal yang diharuskan. Namun kalau umpama itu tetap saja tidak membuahkan hasil, mungkin kita harus pertanyakan kembali ada apa?

Apa mungkin karena kekuasaan terlalu menekan begitu besar? Atau karena generasi muda ini tidak terlalu pintar bermain di panggung politik kesenian? Atau karena ada keberanian yang tiba-tiba menumpul?

Berbicara soal keberanian, mungkin kita patut membaca sejarah lama bangsa ini yang pernah dijayakan oleh kesenian. Dalam beberapa catatan disebut, kejayaan bangsa ini sebenarya lahir dari beberapa tokoh yang sebenarnya memiliki keunikan kepribadian mereka. Mereka ini yang kemudian secara tidak langsung melibatkan diri mereka dalam gerakan politik kesenian sebagai tempat perlawanan terhadap kekuasaan. Sebut saja beberapa nama seperti WR. Supratman, Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, Soe Hok Gie, Hamka, Affandi dan segudang nama lainnya. Tentu, jika dibandingkan mereka ini (bukan berarti saya mendewakan mereka) kita yang masih muda ini kalah jauh dengan mereka ini. Mungkin, kita tak patut untuk bersanding di sisi mereka.

Kenapa? Haruskah dipertanyakan kenapanya? Saya kira tidak penting lagi. Kalaupun ada yang beranggapan, ini semua karena kondisi saat ini berbeda pada zaman mereka. Tentu. Sudah jelas berbeda. Namun apakah itu patut dijadikan alasan? Saya kira tidak. Sebenarnya, baik kondisi dulu maupun sekarang tetap saja sama. Kekuasaan di negeri ini masih tetap saja congkak dan tidak bisa memposisikan dirinya sebagai bagian dari umat manusia. Sehingga, pantaslah jika kekuasaan bagaimanapun itu caranya tetaplah menjadi sosok monster bagi rakyatnya. Dan kita membutuhkan kedatangan seorang Daud yang mampu menaklukan raksasa yang menakutkan itu. Daud yang memiliki seni berperang yang sungguh luar biasa. Bagaimana tidak, seorang Daud yang tinggi badannya sebanding dengan manusia-manusia biasa ini mampu menaklukkan Goliath yang bertubuh raksasa itu hanya dengan lontaran batu kecil di genggaman Daud. Dari itulah kiranya kita belajar bagaimana cara menaklukkan kekuasaan agar lebih lunak dan berhati lembut serta memiliki ruh estetik yang sebenarnya telah dimaktubkan oleh Tuhan dalam setiap firman-Nya yang mengungkapkan betapa cantiknya umat manusia yang ditempatkan di surga oleh karena mereka mau berpikir dengan jernih dan mampu mengendalikan emosinya dengan keteduhan imannya. Dan perlu dicatat, kitab-kitab Tuhan itupun adalah sebuah Maha Seni yang tak terbantahkan. Jika seseorang mampu memahami dan mendalaminya maka sesungguhnya, ia telah mampu mengejawantahkan esensi poetika dalam kehidupannya. Sehingga, kekuasaan tidak lagi kaku dan selalu berperang otot. Masyarakat sudah terlalu capai.

Terakhir saya ingin kita sama-sama mendoa, semoga kekuasaan bangsa ini tidak berpaling dari esensi estetik yang telah menjadi ketetapan Tuhan atau sunatullah dalam istilah Islam. Al fatihah untuk pemimpin kita, Al fatihah untuk bangsa ini, Al fatihah untuk kita semua. Semoga kita diampuni-Nya, amin.

Salam,


Robert Dahlan Al Sadani

01 Agustus 2008

Apel Terpagi atau Apel Kepagian [?]

Salam,

Hari ini tepatnya pukul 06.00 pagi tadi, saya disodori sebuah pemandangan yang sangat luar biasa hebatnya. Ratusan pegawai di jajaran Pemerintah kota Semarang, dalam sepagi itu [pukul 05.00] dikumpulkan di pelataran Balaikota Semarang. Pemandangan ini nampak cukup unik dan sangat jarang saya temui sebelumnya. Sebab, biasanya jajaran aparat negara ini baru akan berangkat pada tidak sepagi itu. Semula saya kira, apakah ini ada kaitannya dengan peringatan Isra' Mi'raj? Kemudian dengan serta merta Pemerintah kota Semarang menggelar sebuah tabligh akbar dengan tema besar 'Kultum Subuh Peringatan Isra' Mi'raj'? Atau karena ini hari Jumat, maka mereka ini dikumpulkan untuk mengikuti kuliah subuh dengan mengundang da'i tenar?

Ternyata tidak. Perkiraan saya ini bahkan jauh meleset. Sebab, kalau mereka mau mengadakan sebuah pengajian, tentu busana yang mereka kenakan ini jelas bukan satu setel pakaian olahraga. Nah, asumsi saya kini berubah lagi. Mungkin, mereka akan melakukan jalan sehat. Karena mereka-mereka ini kan sudah terlalu sering mengendarai sepeda motor atau mobil-mobil dinas. Jadi, supaya lebih sedikit sehat, mereka harus diperjalansehatkan. Kata banyak orang ini salah satu cara untuk mengusir stress dan sedikit mampu mengurangi tekanan darah tinggi. Ya, karena dengan sedikit menggerakkan badan ini, tentu akan sedikit memberikan peluang bagi jantung ini akan lebih dapat memompa aliran darah ini dengan teratur. Tapi, sepanjang itu dilakukan dengan baik dan di lingkungan yang bersih. Lah kalau di tengah kota seperti Semarang ini?

Ah, celakanya tebakan kali ini ternyata masih juga meleset. Meskipun hampir menyerempet. Mereka yang dikumpulkan ini saya lihat tidak melakukan aktifitas apapun kecuali berdiam diri dengan sikap badan yang mengharuskan berdiri. Oh, mungkin mereka ini sedang melakukan senam yoga? Barangkali. Tapi di dean mereka yang nampak hanya mimbar kosong tanpa satu pun orang di atasnya. Kalau memang ini senam yoga tentu ada instrukturnya. Lantas apa?

Satu jam kemudian [pukul 06.00], barulah saya dapatkan jawaban pasti. Ternyata mereka ini dikumpulkan dalam rangka apel terpagi. Tentu ini tidak main-main sebab instrukturnya saja seorang menteri. Dan yang lebih mengerikan lagi, menteri ini adalah menteri yang mengurusi pegawai seantero jagad Indonesia. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi. Begitu sang menteri ini berdiri di atas mimbar tersebut, kontan upacara apel terpagi pun digelar. Semua takzim. Meskipun beberapa saya melihat masih juga baru memposisikan diri karena terlambat.

Dalam upacara kali ini, sebuah piagam penghargaan dipampang dengan begitu gagahnya. Lantas diserahkan kepada Walikota Semarang. Piagam ini tak lain dan tak bukan adalah piagam penghargaan dari MURI [Museum Rekor Indonesia] yang menyatakan pemberian penghargaan terhadap Pemerintah kota Semarang yang telah berhasil menggelar 'Apel Terpagi' dan pemberian ucapan penghargaan terhadap Men PAN atas kesediaannya memimpin apel yang sangat pagi itu. Ya, sebab beberapa pegawai ketika saya jumpai di pelataran parkir mengeluhkan acara tersebut yang berlangsung terlalu pagi. Mereka tidak sempat memasak, tidak sempat mandi dengan khusuk, belum sempat mengumpulkan tenaga untuk hadir dalam acara itu dan segudang alasan lainnya.

Ketika piagam itu diserahkan, seorang perwakilan dari MURI berkoar. "Piagam ini diberikan untuk memberikan penghargaan kepada Pemerintah kota Semarang yang telah dengan sukses menggelar apel terpagi. Rekor ini sekaligus memecahkan rekor sebelumnya yang dicapai oleh Wakil Presiden dalam memimpin apel pagi yang dimulai pukul 6.30. Dan ini sebagai wujud kedisiplinan dari jajaran pemerintah kota dalam menjalankan tugasnya."

Saya terpingkal waktu itu, begitu mendengar pidato yang sangat menarik ini. Terpikir pula oleh saya, apa hubungannya apel terpagi dengan disiplin? Bukankah letak dasar prinsip disiplin ini sebenarnya pada proporsi yang tepat? Bukan melebihkan atau mengurangi? Disiplin menurut saya, berarti melakukan hal-hal yang dilandasi ketepatan proporsinya serta akurat dalam mengerjakan segala hal. Lah ini, wong upacara apel yang kepagian ini kok bisa dibilang disiplin? Apa ini bukan karena hanya ingin bikin sensasi saja? Sebab, saya melihat ada nuansa persaingan antar pejabat pusat untuk melakukan kejutan-kejutan. Lihat saja, sebelumnya rekor MURI jatuh pada Wapres JK, kini jatuh ke tangan MenPAN. Mungkin besok atau dalam tahun-tahun selanjutnya akan ada lagi pejabat yang segera menggelar upacara di saat subuh. Atau bahkan tengah malam pukul 00.00 tepat.

Ingat, melebih-lebihkan sesuatu yang tidak sesuai dengan takarannya ataupun sebaliknya adalah sebuah kemubaziran. Akibat kemubaziran ini jelas, akan berbuntut pula pada ketidaknyamanan bagi semua pihak. Mau bukti? Nah, sekarang ketika siang hari ketika semua kesibukan yang harus mereka kerjakan ini semakin bertumpuk, tentu akan dikerjakan dengan seadanya. Sebab, tenaga mereka sudah terkuras hanya untuk memikirkan bagaimana cara tepat untuk dapat berangkat awal sekali dalam acara tersebut. Sehingga, mereka--aparat negara ini, tidak sampai terlambat. Konsentrasi mereka tentu sudah terbuyarkan sejak mereka akan tidur semalaman hanya karena memikirkan tentang kemungkinan terlambat mereka. Ihwal lain yang mungkin akan mereka pikirkan ialah, kegiatan ini sebenarnya untuk siapa dan untuk apa? Kalau memang untuk diri mereka sendiri, tentu tidak ada paksaan atas hal itu. Namun kalau hanya untuk sebuah sensasi pamor seseorang, tentu mereka terpaksa harus mengiyakan. Padahal, dalam hati mereka menggelengkan kepala.

Dan satu hal penting lainnya yang dapat saya sampaikan. Adalah ketika ini dihubungkan dengan kata 'tugas'. Loh ini apa lagi? Saya jadi berpikir buruk terhadap ihwal ini. Apakah memang tugas mereka ini hanya untuk upacara dan apel kepagian ini? Kalau memang iya. Itu artinya, setelah apel kepagian ini, melalaikan tugas mereka untuk melayani masyarakat bisa saja dibolehkan dong!

Ada-ada saja, dunia!

Salam,


Robert Dahlan Al Sadani

Galeriku

Berikut adalah galeri desain dan beberapa lukisan saya....