31 Oktober 2008

Menulislah Untuk Indonesia

Salam,

Rupa-rupanya lama juga saya tidak menyambangi blog saya yang satu ini. Ya, harap maklum kesibukan untuk mencari sebuah jawaban atas kepastian nasib nampaknya harus tetap saya perjuangkan. Pekerjaan memang kadang membuat waktu kita semakin disibukkan untuk melupakan sesuatu yang sebenarnya mungkin sangat penting. Termasuk untuk mengisi waktu luang dengan menulis. Sebab, dengan menulis sebenarnya kita akan dibawa pada sebuah bentuk dunia yang sangat langka. Dunia yang dipenuhi kata, dunia yang benar-benar milik kita sendiri. Ah, kalau ngomong soal nulis, saya jadi ingat pada seseorang yang pernah berkuasa di negeri ini. Dia bukan orang pribumi, tetapi kecintaannya terhadap tanah Jawa begitu besar. Bahkan untuk menunjukkan kecintaannya itu, ia harus menulis sebuah buku yang sangat tebal. Siapa dia? Dialah Sir Thomas S. Rafles.

Kalau sekarang ini Anda sering menemui bukunya yang berjudul The History of Java di toko-toko buku, itulah cara ia mencintai tanah Jawa. Secara arif dan didasarkan pada pengalamannya Rafles yang dulu pernah menjadi gubernur di Jawa ini, menulis tentang kehidupan di tanah Jawa dengan cukup komprehensif. Ia menulis tentang seluruh bentuk kehidupan yang ada di sebuah pulau yang mengapung antara Laut Jawa dengan Samodra Hindia. Begitu lengkap.

Terus terang, saya sungguh dibuatnya kagum olehnya. Bagaimana tidak? Untuk seorang sebesar dia, tentunya ini akan sangat memakan waktu yang cukup lama untuk dapat menuliskan buku tersebut. Lebih-lebih harus didukung pula dengan data yang sangat komplit. Nah, coba bandingkan dengan sekarang ini. Negeri kita memang sudah merdeka. Kita pun memiliki pemimpin dari golongan kita sendiri, orang Indonesia. Tapi dari sekian banyak pemimpin yang timbul dan tenggelam ini, berapa dari mereka yang mampu menuliskan tentang Indonesia dengan baik? Padahal, mereka ini lahir dan dibesarkan di Indonesia. Tentunya mereka, para pemimpin kita ini paham betul soal Indonesia dengan segala persoalan yang tengah dihadapinya. Lantas kenapa kemampuan mereka untuk mengaktualisasikan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang Indonesia hampir dapat dikatakan tidak pernah terlihat?

Hal inilah yang membuat saya kadang teracuni oleh pikiran buruk saya. Jangan-jangan mereka ini tidak pernah memikirkan tentang Indonesia. Atau jangan-jangan mereka memang tidak pernah dapat memahami Indonesia yang sesungguhnya. Atau jangan-jangan mereka memang tidak memiliki kemampuan dan pola pikir yang maju. Sehingga hal tersebut membuat Indonesia semakin hari, semakin gampang untuk digoyahkan. Karena sepengetahuan saya, tidak ada satupun dari mereka ini mampu merumuskan ideologi ke-Indonesia-an.

Pancasila, mungkin sampai saat ini masih menjadi sebuah rumusan yang cukup ampuh untuk memperlihatkan identitas Indonesia. Namun pada perkembangannya, ia kembali harus dipertanyakan lantaran banyak hal yang kemudian dalam penafsirannya ternyata banyak ditemukan sebuah kesalahan konsep pemahamannya. Terutama ketika periode kekuasaan Soeharto sebagai presiden RI.

Pada akhir periode kekuasaan Soeharto pun, Pancasila nampaknya belum cukup dapat ditafsirkan secara signifikan. Konsep-konsep pembangunan politik rakyat Indonesia pada era yang kemudian dikenal sebagai era reformasi ini, juga kembali harus termakan oleh isu-isu mengenai peradaban masyarakat dunia yang diistilahkan dengan globalisasi. Sebuah tradisi masyarakat dunia yang mencoba mendobrak batas-batas semu mengenai entitas teritorial politik.

Kehadiran Gus Dur yang waktu itu merupakan sebuah upaya politik yang cukup gemilang untuk kembali merumuskan makna Pancasila ini pun ternyata terjegal dengan adanya proses politik yang saya kira tidak terlalu sehat. Yang kemudian memaksa Gus Dur harus ikut ter-lengser keprabon-kan oleh sebuah konspirasi politik di tingkat elit. Mungkin karena ia terlalu percaya diri untuk mendobrak sekat-sekat politik yang terlalu kaku yang membuat politik di Indonesia tidak menampilkan wajahnya yang cantik. Gus Dur terkorbankan dan tertimpa dinding penyekat politik yang ia dobrak sendiri tanpa teman.

Sementara tokoh lain seperti Amin Rais, nampaknya tidak dapat berkutik lantaran posisinya yang berada pada puncak kekuasaan politik, sebagai pelambangan atas kekuasaan rakyat, telah membuatnya terbungkam. Amin Rais, yang pada waktu itu tampil anggun di atas kursi ketua MPR nampak seperti orang yang tak dapat berbuat banyak untuk menyelamatkan bangsa yang chaos ini. Sehingga, ketokan palu yang ada di genggamannya terpaksa harus menyudahi era kepemimpinan Gus Dur, lalu menggantikannya dengan seorang perempuan pertama yang menjadi presiden RI, Megawati Soekarnoputri.

Era keemasan Megawati ini sebenarnya cukup mendapatkan respon yang cukup besar kala itu. Sebab, rakyat pada saat itu nampaknya haus akan kemunculan roh Marhaenisme yang diajarkan Soekarno, presiden RI pertama itu. Rakyat berharap, dengan hadirnya Megawati roh itu benar-benar terejawantahkan. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kekacauan sistem ekonomi rupa-rupanya menjadi penghambat bagi proses pemunculan reinkarnasi ideologi Marhaenisme ini. Bahkan, saking tidak kuatnya menahan serangan-serangan dalam peperangan sistem ekonomi global ini, Megawati terpaksa harus menjual beberapa aset negara yang cukup vital. Alhasil, kepercayaan masyarakat pun kian melemah. Kemunculan roh Marhaenisme yang diharapkan akan dapat membuka tabir siapa sesungguhnya Indonesia ini pun gagal. Suara Soekarno tidak lagi menggelegar seperti saat-saat ia berpidato di podium-podium. Tentu bendera pusaka yang dijahit oleh sang Ibunda Fatmawati pun terkulai lemah. Sebab, angin segar perubahan yang diingini rakyat tak jua tiba.

Karena kecewa, rakyat pun mulai frustasi. Sehingga pada saat pemilu 2004 yang lalu, rakyat mulai melakukan sebuah gambling tentang pemimpin mereka. Karena tak ada pilihan lain, SBY lah yang kemudian dijadikan sebagai obat stress rakyat.

Semula kepemimpinan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) sedikit membawa angin segar bagi rasa kecewa rakyat. Namun semakin lama dirasakan, rakyat mulai bertanya-tanya. Sebenarnya arah politik SBY ini kemana?

Jelas, hal tersebut tidak terjawab. Kehadiran SBY yang berpasangan dengan JK (Jusuf Kalla) semakin hari semakin tak dapat menjelaskan mengenai ke-Indonesia-an itu sendiri. Konsep politik yang diperankan dua tokoh ini nampaknya lebih cenderung pada pola (yang dalam istilah mereka) penyehatan ekonomi. Namun tugas inti mereka untuk merumuskan kembali ideologi bangsa ini sepertinya terlupakan. Bahkan, selama saya mengamati perjalanan kekuasaan mereka ini, baik SBY maupun JK justru terjebak pada sebuah bentuk tradisi masyarakat dunia. Gonjang-ganjing sistem ekonomi yang mereka bangun pun menjadi sebuah pemandangan yang sangat memprihatinkan. Kemiskinan yang kian merajalela, pengangguran yang kian bengkak jumlahnya, dan segala persoalan yang tidak mampu mereka jawab semakin membayangi kekuasaan mereka.

Dari pengalaman-pengalaman buruk yang dialami negeri ini saya kira cukuplah memberikan sebuah pemahaman pada kita. Bahwa selama ini, apa yang dinamakan konsep pembangunan politik rakyat nampaknya masih hanya sebatas wacana yang tidak mampu diselesaikan pada satu titik terakhir. Hal ini dalam catatan saya dikarenakan adanya kegagalan kekuasaan dalam menerjemahkan entitas teritorial politik dari semua aspek, terutama terkait dengan masalah budaya.

Oleh karenanya, saya kira perlu bagi kekuasaan untuk kembali merumuskan budaya Indonesia yang sebenarnya. Bukan justru membentuk budaya baru yang tidak didasari pada pemahaman budaya asali Indonesia. Kita memang perlu banyak belajar dari sejarah untuk menciptakan sejarah baru. Bukan mempelajari sejarah sebagai sebuah romantisme masa lalu belaka. Rafles, telah memberi kita cukup bukti. Lantas kenapa kita enggan untuk mempelajarinya? Apa karena Rafles keturunan dari bangsa penjajah? Saya kira kalau memang demikian, hal ini terlalu naif untuk dilakukan oleh sebuah bangsa besar.

Mungkin pada paragraf terakhir ini saya akan sedikit bertanya kepada diri sendiri dan juga pada Anda. Kenapa bangsa seperti Israel itu bisa maju? Jawabannya karena mereka mau belajar dari sebuah pengalaman pahit yang mereka sengaja kunyah dari masa lalu. Untuk itulah, mereka terus berupaya untuk tetap maju, terlepas dari konflik yang tengah melanda di negara Timur Tengah tersebut. Akhirnya saya hanya akan memberi sedikit catatan pada diri saya juga Anda. Yuk, mulailah belajar dari kepahitan ini.... Dan mulailah dengan menulis. Karena dengan menulis, otak kita tidak terbiarkan mati.

Salam,
Robert Dahlan

23 September 2008

UU Pronografi Masihkah Perlu [?]

Salam,

Belakangan ini bangsa ini kembali direcoki dengan persoalan yang sebenarnya tidak terlalu penting dan tidak membawa perubahan apa-apa bagi bangsa ini. Apa itu? Tentunya UU Pornografi jawabnya. Berbagai reaksi muncul kemudian sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap campur tangan pemerintah baik pada tataran legislatif maupun eksekutif yang tengah bersusah payah untuk melegalkan Undang-undang yang mengundang kontroversi ini. Hal ini terutama terkait belum terjabarkannya dengan baik mengenai maksud dari tindakan ataupun hal-hal yang dapat dikatakan sebagai hal yang porno. Dari sini saya melihat ada kecenderungan pihak-pihak yang memiliki kewenangan [kalau tidak mau disebut sebagai pihak yang memiliki kesewenangan] ini, menyamakan maksud pengistilahan porno dengan hal-hal yang berbau cabul. Sebab, apapun bentuknya pornografi merupakan sebuah aktifitas ataupun sesuatu yang sangat erat hubungannya dengan dunia kesenian yang tidak dapat dilepaskan dari masalah kebudayaan. Sementara beberapa hal yang diungkapkan dalam draf UU Pornografi ini masih meraba-raba pada tataran makna yang sedemikian dangkalnya memaknai kata pornografi dalam konsep ketelanjangan. Namun, tidak jelas ketelanjangan yang dimaksud ini apakah ketelanjangan yang sifatnya cabul atau telanjang yang bagaimana?

Perumusan UU Pornografi ini nampaknya masih lemah baik dari segi redaksionalnya maupun dari segi implementasinya. Sehingga tidak menutup kemungkinan adanya multitafsir terhadap pengertian kata telanjang ini.

Berikut petikan pasal 1 dalam draf UU Pornografi;

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.

3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Dalam ayat 1 jelas bahwa pornografi kemudian disamaartikan dengan kecabulan. Bagaimana tidak, pornografi dikatakan di sana merupakan sebuah kegiatan produksi secara massal yang hanya ditujukan sebagai pengumbar nafsu seksual. Hal inilah yang menunjukkan kelemahan pola pikir elit politik kita dalam memahami maksud pornografi. Dan alangkah sayangnya jika mereka yang merupakan wakil pemikiran rakyat bangsa ini memiliki frame pemikiran yang begitu sempitnya. Dan ironisnya, dalam pasal 2 kemudian dijelaskan pula bahwa dasar pemberlakukan UU Pornografi ini dipandang sebagai sesuatu yang sangat sakral. Berikut kutipannya;

Pasal 2

Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.

Di sini saya melihat semakin sempitnya pemikiran elit politik kita. Kalau memang dasarnya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka sebenarnya soal hasrat manusia tidak bisa diatur oleh manusia. Itu sudah menjadi titipan Tuhan. Kalau diatur maka sebenarnya DPR kita ini sudah menyalahi hukum Tuhan. Atau kalau dalam istilah Islam dikenal sebagai sunatullah. Bahwa persoalan hasrat manusia merupakan hak Tuhan. Bukan hak manusia. Sehingga pengaturan mengenai hasrat seksual maupun hasrat-hasrat lainnya ini diatur dalam hukum Tuhan bukan hukum agama ataupun hukum-hukum lain yang sifatnya lebih duniawi.

Hal kedua yang membuat saya sempat terpingkal dalam membaca draf ini ialah ketika UU pornografi ini dikaitkan dengan kebhinekaan, nondiskriminasi dan perlindungan terhadap warga negara. Apakah ini sebuah gurauan? Kita tahu persis, budaya bangsa ini sangat beragam. Orang Papua dengan kotekanya, orang Jawa [perempuan] dengan kebayanya yang serba ketat, orang Dayak dengan pakaiannya yang serba apa adanya. Kan lucu kalau memang hal-hal semacam ini kemudian diatur sedemikian rupa agar seragam. Nah, lantas bagaimana pula dengan asas kebhinekaan tersebut? Apakah nantinya akan dilanggar juga?

Kalau memang non diskriminasi, bagaimana ini dapat dijelaskan dan dipertanggungjawabkan kepada seluruh rakyat Indonesia? Sebab, jika UU Pornografi ini jadi diterapkan, maka tidak menutup kemungkinan orang Papua akan semakin didiskreditkan, orang Bali semakin dihimpit, orang-orang Dayak juga akan semakin disingkirkan dalam peta budaya Indonesia. Atau bahkan orang Jawa sekalipun akan semakin diasingkan. Sungguh ini UU yang sangat aneh.

Saya jadi bertanya-tanya sebenarnya dasar hukum peng-UU-an Pornografi ini apa? Saya curiga jangan-jangan ini sebagai alat politik untuk membuka keran budaya baru yang akan membumihanguskan budaya-budaya yang ada sebelumnya di negeri ini. Kalau memang [katakanlah budaya Arab] yang ingin dikibarkan, silakan saja. Toh di dunia Arab sana juga tidak bisa mengatur masalah hasrat seksual rakyatnya dengan baik. Prostitusi tetap saja menjamur di setiap sudut negeri Arab. Bahkan beberapa video cabul yang bisa diunduh dari sebuah situs video youtube.com pun sempat menyuguhkan tontonan yang tidak kalah erotisnya dimainkan oleh orang-orang berhidung panjang ini.

Dalam beberapa pasal lainnya saya dapatkan pula sesuatu yang sangat ambigu. Pasal 4 misalnya, di dalam pasal tersebut dikatakan secara jelas bahwa produksi massal yang berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan aktifitas seksual tidak dibolehkan. Berikut kutipannya;

Pasal 4

(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat:

e. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;

f. kekerasan seksual;

g. masturbasi atau onani;

h. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau

i. alat kelamin.

(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:

a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;

c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau

d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

Saya menilai pada huruf e ayat 1 pasal 4 ini nampak kurang kehati-hatian pemerintah dalam merumuskan UU kecabulan ini. Bagaimana tidak, kalau yang dimaksud jual-beli persenggamaan atau memproduksi dan menyediakan jasa persenggamaan, bagaimana dengan hukuman pelaku nikah siri? Sebab hakikat pernikahan adalah menghalalkan persenggamaan di bawah naungan hukum agama.

Interpretasi terhadap pasal ini bisa berarti melenceng dari semangat perubahan. Sebab, tidak dijelaskan secara tegas mengenai beberapa hal yang bisa menimbulkan pengertian ganda seperti pada ayat 1 pada huruf i. Dalam huruf i disebutkan alat kelamin dilarang untuk diproduksi secara massal. Artinya bisa jadi produksi BH [penyangga payudara] dan celana dalam tidak dibolehkan atas dasar hukum. Bahkan penjualan BH dan celana dalam akan semakin dibatasi. Outlet-outlet yang memampang alat kelamin ini segera diberi police line.

Lantas pada huruf h dengan jelas akan semakin mempersempit iklan BH ataupun iklan celana dalam serta bungkus kemasan alat kelamin ini tidak menyertakan gambar yang sangat jelas mengenai cara pakainya. Lukisan telanjangpun mungkin akan menjadi haram, patung-patung yang dipajang di istana bogor pun mungkin akan segera disegel. Meskipun dalam pasal 14 ada sedikit pemakluman. Pasal 14 mengatakan pengecualian terhadap ketelanjangan ini untuk tujuan seni budaya, ritual agama, serta adat istiadat.

Pasal 14

Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai:

a. seni dan budaya;

b. adat istiadat; dan

c. ritual tradisional.

Kali ini pasal tersebut cukup memberi angin segar terhadap kaidah-kaidah seni dan budaya. Namun tetap saja kekhawatiran akan selalu muncul mengingat sejauh ini intepretasi terhadap makna kecabulan dengan pornografi belum secara tegas diterjemahkan dengan baik. Bisa jadi, pada suatu ketika sebuah pementasan seni akan dihujat habis-habisan sebagai sesuatu yang cabul. Namun di saat bersamaan bisa jadi pentas kecabulan diterjemahkan sebagai sebuah bentuk kesenian yang harusnya mendapatkan perlindungan dari pasal 14 ini.

Sementara pasal-pasal berikut dalam kacamata saya cukup lucu;

Pasal 5

Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

Pasal 6

Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan.

Pasal 7

Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 8

Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 9

Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 10

Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

Ini sebuah pengkhianatan terhadap hakikat manusia yang utuh. Kalau memang dilarang, maka bukan tidak mungkin hal ini semakin akan memarakkan pembajakan atau kegiatan-kegiatan yang lebih bersifat secara sembunyi-sembunyi. Bahkan tidak menutup kemungkinan pula akan muncul sebuah jaringan mafia kecabulan. Maaf saya tidak akan menggunakan istilah pornografi dalam hal ini. Sebab, menurut saya pornografi tetap saja menjadi sesuatu yang dibutuhkan oleh setiap umat manusia. Sedang kecabulan merupakan sebuah tindakan yang lepas kontrol dari nilai hukum.

Meski demikian usaha keras pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap persebarlusan kecabulan ini dijanjikan dalam Bab IV mengenai pencegahan cukup menunjukkan ketegasan sikap pemerintah, namun tetap saja saya tidak yakin itu dapat dilakukan. Ingat perangkat hukum kita selalu kalah saing dengan perkembangan teknologi yang bahkan dalam satu minggu saja mungkin akan selalu ditemukan teknologi baru yang sangat canggih. Sedang perangkat hukum kita sampai sejauh ini tidak dapat mengatur atau mengendalikan pemanfaatan perkembangan teknologi ini.

Kita tidak dapat memungkiri dengan semakin majunya teknologi semua dapat dilakukan dengan mudah. Bahkan untuk mendokumentasikan kegiatan cabul kitapun bisa melakukannya dengan sangat mudah. Masih hangat dalam ingatan kita beberapa waktu lalu, tindakan beberapa pejabat kita yang mendokumentasikan hal-hal yang memilukan itu dilakukan. Meski itu sebenarnya menjadi konsumsi privat namun kemudian hal ini sampai pula di tangan publik. Karena apa? Karena kecerobohan orang-orang yang menganggap dirinya berkuasa ini. Dan jelas ini sebuah kebodohan yang memiliki level tinggi.

Alangkah baiknya jika UU Pornografi atau kalau saya mengistilahkan UU Kecabulan ini lebih diarahkan pada aspek pendidikannya bukan pada tekanan moral. Sebab, masalah moral adalah tanggungjawab setiap manusia secara individual. Sedang pendidikan akan mengarahkan pada aspek penataan moral dengan cara yang sangat santun dan halus. Tentunya Anda, jika memang Anda seorang elit politik tidak mau kan disebut sebagai orang dungu di negeri yang kadung congkaknya ini? Yuk, berpikir lagi. Bekerja lagi yang serius untuk kemajuan bangsa ini. Bukan malah menceracau saja.

Dan pada bagian akhir tulisan ini saya putuskan untuk menolak UU Pornografi tersebut sebab hal ini sudah di luar batas hakikat manusia seutuhnya yang memiliki hasrat seksual. Saya khawatir Tuhan justru akan lebih murka bila kekuasaan-Nya diserobot oleh segelintir manusia.

Salam,

Robert Dahlan

05 Agustus 2008

Momen Tujuhbelasan Momen Bangkitnya Seniman Semarang

Salam,

Entah dari mana awalnya muncul ide gila itu. Adin dengan segenap kekuatan komunitasnya Hysteria nampak antusias untuk mewacanakan kembali kebangkitan dunia seni di kota Semarang yang belakangan ini mulai dicabik oleh kekuasaan. Kali ini, mereka mencoba menerobos adab yang tengah digayuti masyarakat Semarang yang mulai kehilangan nilai estetika ini dengan mendobrak pintu-pintu yang selama ini membelenggu mereka, para seniman muda khususnya. Saya kira hal itu bukanlah hal yang istimewa bagi masyarakat Semarang, namun patut untuk dicatat dalam sejarah dunia kesenian kota Semarang yang telah lama hanya menjadi barang loakan yang hampir basi. Bahkan, entah apakah saya kali ini sedang berprasangka buruk atau bagaimana – kekuasaan telah benar-benar dengan nyata-nyata menjauhkan nilai estetika ini dari akar rumputnya yaitu masyarakat. Sehingga wajar jika kemudian kemunculan berbagai polemik mengenai politik tidak dapat dijawab dengan baik oleh pemerintahan di bawah kekuasaan Sukawi Sutarip ini. Tapi, semoga saja kali ini saya sedang berburuk sangka.

Namun dalam beberapa hal, patut dicatat pula, mandulnya dunia kreativitas masyarakat ini dalam berkesenian paling tidak telah menyodorkan di hadapan kita sebuah kenyataan bahwa perkawinan masyarakat dengan kesenian di kota yang kalau saya lihat tengah tertatih-tatih untuk mempersolek dirinya menjadi kota metropolitan ini telah gagal atau bahkan digagalkan oleh sang penghulu yang bernama kekuasaan. Bahkan, ketika saya menanyakan kepada Adin saudara saya ini tentang keterlibatan pemerintah kota Semarang dalam gelaran festival seni tujuhbelasan yang mengambil tema 17-an konsoemsi ataoe mati ini mengaku, tidak sama sekali mendapatkan dukungan dari pemerintah kota Semarang. Katanya, ketika ia harus mengurusi pengajuan proposal kegiatan tersebut, ia harus berhadapan dengan birokrasi yang sama sekali tidak jelas arahnya. Lempar-melepar bola api pun seolah menjadi pemandangan yang indah bagi mereka yang duduk dengan rapi di belakang meja kekuasaan ini. Terus terang, saya agak jengkel dengan hal tersebut. Namun kembali saya bertanya, kenapa harus marah? Toh itu tetap tidak akan dapat mengubah keadaan. Mereka, yang notabene memiliki kekuasaan ini tetap saja tidak akan mengubah sikap mereka menjadi macan lunak. Yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana menunjukkan pada dunia, bahwa eksistensi seniman di kota Semarang yang menjadi kaum terpinggir ini tetap menampakkan gaungnya. Bagaimana menunjukkan pada dunia bahwa pembonsaian seniman di kota Semarang – yang entah sengaja atau tidak dilakukan kekuasaan itu tetap menarik untuk dilihat.

Adin, mungkin salah satu dari sekian seniman atau pegiat seni di kota Semarang yang tergolong muda. Mungkin karena mudanya ia, maka wajar jika energi yang dihasilkannya pun prima. Kerja keras tentu menjadi hal yang diharuskan. Namun kalau umpama itu tetap saja tidak membuahkan hasil, mungkin kita harus pertanyakan kembali ada apa?

Apa mungkin karena kekuasaan terlalu menekan begitu besar? Atau karena generasi muda ini tidak terlalu pintar bermain di panggung politik kesenian? Atau karena ada keberanian yang tiba-tiba menumpul?

Berbicara soal keberanian, mungkin kita patut membaca sejarah lama bangsa ini yang pernah dijayakan oleh kesenian. Dalam beberapa catatan disebut, kejayaan bangsa ini sebenarya lahir dari beberapa tokoh yang sebenarnya memiliki keunikan kepribadian mereka. Mereka ini yang kemudian secara tidak langsung melibatkan diri mereka dalam gerakan politik kesenian sebagai tempat perlawanan terhadap kekuasaan. Sebut saja beberapa nama seperti WR. Supratman, Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, Soe Hok Gie, Hamka, Affandi dan segudang nama lainnya. Tentu, jika dibandingkan mereka ini (bukan berarti saya mendewakan mereka) kita yang masih muda ini kalah jauh dengan mereka ini. Mungkin, kita tak patut untuk bersanding di sisi mereka.

Kenapa? Haruskah dipertanyakan kenapanya? Saya kira tidak penting lagi. Kalaupun ada yang beranggapan, ini semua karena kondisi saat ini berbeda pada zaman mereka. Tentu. Sudah jelas berbeda. Namun apakah itu patut dijadikan alasan? Saya kira tidak. Sebenarnya, baik kondisi dulu maupun sekarang tetap saja sama. Kekuasaan di negeri ini masih tetap saja congkak dan tidak bisa memposisikan dirinya sebagai bagian dari umat manusia. Sehingga, pantaslah jika kekuasaan bagaimanapun itu caranya tetaplah menjadi sosok monster bagi rakyatnya. Dan kita membutuhkan kedatangan seorang Daud yang mampu menaklukan raksasa yang menakutkan itu. Daud yang memiliki seni berperang yang sungguh luar biasa. Bagaimana tidak, seorang Daud yang tinggi badannya sebanding dengan manusia-manusia biasa ini mampu menaklukkan Goliath yang bertubuh raksasa itu hanya dengan lontaran batu kecil di genggaman Daud. Dari itulah kiranya kita belajar bagaimana cara menaklukkan kekuasaan agar lebih lunak dan berhati lembut serta memiliki ruh estetik yang sebenarnya telah dimaktubkan oleh Tuhan dalam setiap firman-Nya yang mengungkapkan betapa cantiknya umat manusia yang ditempatkan di surga oleh karena mereka mau berpikir dengan jernih dan mampu mengendalikan emosinya dengan keteduhan imannya. Dan perlu dicatat, kitab-kitab Tuhan itupun adalah sebuah Maha Seni yang tak terbantahkan. Jika seseorang mampu memahami dan mendalaminya maka sesungguhnya, ia telah mampu mengejawantahkan esensi poetika dalam kehidupannya. Sehingga, kekuasaan tidak lagi kaku dan selalu berperang otot. Masyarakat sudah terlalu capai.

Terakhir saya ingin kita sama-sama mendoa, semoga kekuasaan bangsa ini tidak berpaling dari esensi estetik yang telah menjadi ketetapan Tuhan atau sunatullah dalam istilah Islam. Al fatihah untuk pemimpin kita, Al fatihah untuk bangsa ini, Al fatihah untuk kita semua. Semoga kita diampuni-Nya, amin.

Salam,


Robert Dahlan Al Sadani

01 Agustus 2008

Apel Terpagi atau Apel Kepagian [?]

Salam,

Hari ini tepatnya pukul 06.00 pagi tadi, saya disodori sebuah pemandangan yang sangat luar biasa hebatnya. Ratusan pegawai di jajaran Pemerintah kota Semarang, dalam sepagi itu [pukul 05.00] dikumpulkan di pelataran Balaikota Semarang. Pemandangan ini nampak cukup unik dan sangat jarang saya temui sebelumnya. Sebab, biasanya jajaran aparat negara ini baru akan berangkat pada tidak sepagi itu. Semula saya kira, apakah ini ada kaitannya dengan peringatan Isra' Mi'raj? Kemudian dengan serta merta Pemerintah kota Semarang menggelar sebuah tabligh akbar dengan tema besar 'Kultum Subuh Peringatan Isra' Mi'raj'? Atau karena ini hari Jumat, maka mereka ini dikumpulkan untuk mengikuti kuliah subuh dengan mengundang da'i tenar?

Ternyata tidak. Perkiraan saya ini bahkan jauh meleset. Sebab, kalau mereka mau mengadakan sebuah pengajian, tentu busana yang mereka kenakan ini jelas bukan satu setel pakaian olahraga. Nah, asumsi saya kini berubah lagi. Mungkin, mereka akan melakukan jalan sehat. Karena mereka-mereka ini kan sudah terlalu sering mengendarai sepeda motor atau mobil-mobil dinas. Jadi, supaya lebih sedikit sehat, mereka harus diperjalansehatkan. Kata banyak orang ini salah satu cara untuk mengusir stress dan sedikit mampu mengurangi tekanan darah tinggi. Ya, karena dengan sedikit menggerakkan badan ini, tentu akan sedikit memberikan peluang bagi jantung ini akan lebih dapat memompa aliran darah ini dengan teratur. Tapi, sepanjang itu dilakukan dengan baik dan di lingkungan yang bersih. Lah kalau di tengah kota seperti Semarang ini?

Ah, celakanya tebakan kali ini ternyata masih juga meleset. Meskipun hampir menyerempet. Mereka yang dikumpulkan ini saya lihat tidak melakukan aktifitas apapun kecuali berdiam diri dengan sikap badan yang mengharuskan berdiri. Oh, mungkin mereka ini sedang melakukan senam yoga? Barangkali. Tapi di dean mereka yang nampak hanya mimbar kosong tanpa satu pun orang di atasnya. Kalau memang ini senam yoga tentu ada instrukturnya. Lantas apa?

Satu jam kemudian [pukul 06.00], barulah saya dapatkan jawaban pasti. Ternyata mereka ini dikumpulkan dalam rangka apel terpagi. Tentu ini tidak main-main sebab instrukturnya saja seorang menteri. Dan yang lebih mengerikan lagi, menteri ini adalah menteri yang mengurusi pegawai seantero jagad Indonesia. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi. Begitu sang menteri ini berdiri di atas mimbar tersebut, kontan upacara apel terpagi pun digelar. Semua takzim. Meskipun beberapa saya melihat masih juga baru memposisikan diri karena terlambat.

Dalam upacara kali ini, sebuah piagam penghargaan dipampang dengan begitu gagahnya. Lantas diserahkan kepada Walikota Semarang. Piagam ini tak lain dan tak bukan adalah piagam penghargaan dari MURI [Museum Rekor Indonesia] yang menyatakan pemberian penghargaan terhadap Pemerintah kota Semarang yang telah berhasil menggelar 'Apel Terpagi' dan pemberian ucapan penghargaan terhadap Men PAN atas kesediaannya memimpin apel yang sangat pagi itu. Ya, sebab beberapa pegawai ketika saya jumpai di pelataran parkir mengeluhkan acara tersebut yang berlangsung terlalu pagi. Mereka tidak sempat memasak, tidak sempat mandi dengan khusuk, belum sempat mengumpulkan tenaga untuk hadir dalam acara itu dan segudang alasan lainnya.

Ketika piagam itu diserahkan, seorang perwakilan dari MURI berkoar. "Piagam ini diberikan untuk memberikan penghargaan kepada Pemerintah kota Semarang yang telah dengan sukses menggelar apel terpagi. Rekor ini sekaligus memecahkan rekor sebelumnya yang dicapai oleh Wakil Presiden dalam memimpin apel pagi yang dimulai pukul 6.30. Dan ini sebagai wujud kedisiplinan dari jajaran pemerintah kota dalam menjalankan tugasnya."

Saya terpingkal waktu itu, begitu mendengar pidato yang sangat menarik ini. Terpikir pula oleh saya, apa hubungannya apel terpagi dengan disiplin? Bukankah letak dasar prinsip disiplin ini sebenarnya pada proporsi yang tepat? Bukan melebihkan atau mengurangi? Disiplin menurut saya, berarti melakukan hal-hal yang dilandasi ketepatan proporsinya serta akurat dalam mengerjakan segala hal. Lah ini, wong upacara apel yang kepagian ini kok bisa dibilang disiplin? Apa ini bukan karena hanya ingin bikin sensasi saja? Sebab, saya melihat ada nuansa persaingan antar pejabat pusat untuk melakukan kejutan-kejutan. Lihat saja, sebelumnya rekor MURI jatuh pada Wapres JK, kini jatuh ke tangan MenPAN. Mungkin besok atau dalam tahun-tahun selanjutnya akan ada lagi pejabat yang segera menggelar upacara di saat subuh. Atau bahkan tengah malam pukul 00.00 tepat.

Ingat, melebih-lebihkan sesuatu yang tidak sesuai dengan takarannya ataupun sebaliknya adalah sebuah kemubaziran. Akibat kemubaziran ini jelas, akan berbuntut pula pada ketidaknyamanan bagi semua pihak. Mau bukti? Nah, sekarang ketika siang hari ketika semua kesibukan yang harus mereka kerjakan ini semakin bertumpuk, tentu akan dikerjakan dengan seadanya. Sebab, tenaga mereka sudah terkuras hanya untuk memikirkan bagaimana cara tepat untuk dapat berangkat awal sekali dalam acara tersebut. Sehingga, mereka--aparat negara ini, tidak sampai terlambat. Konsentrasi mereka tentu sudah terbuyarkan sejak mereka akan tidur semalaman hanya karena memikirkan tentang kemungkinan terlambat mereka. Ihwal lain yang mungkin akan mereka pikirkan ialah, kegiatan ini sebenarnya untuk siapa dan untuk apa? Kalau memang untuk diri mereka sendiri, tentu tidak ada paksaan atas hal itu. Namun kalau hanya untuk sebuah sensasi pamor seseorang, tentu mereka terpaksa harus mengiyakan. Padahal, dalam hati mereka menggelengkan kepala.

Dan satu hal penting lainnya yang dapat saya sampaikan. Adalah ketika ini dihubungkan dengan kata 'tugas'. Loh ini apa lagi? Saya jadi berpikir buruk terhadap ihwal ini. Apakah memang tugas mereka ini hanya untuk upacara dan apel kepagian ini? Kalau memang iya. Itu artinya, setelah apel kepagian ini, melalaikan tugas mereka untuk melayani masyarakat bisa saja dibolehkan dong!

Ada-ada saja, dunia!

Salam,


Robert Dahlan Al Sadani

31 Juli 2008

Kuasa Perempuan

Salam,

Kasus BLBI yang belakang kembali ramai dibincangkan di berbagai media dan menyeret sejumlah nama penting nampaknya benar-benar telah menampar muka bangsa ini. Lebih-lebih bagi kaum feminis lantaran salah satu aktor penting dalam proyek bagi-bagi duit tersebut juga menampilkan sosok perempuan yang kita kenal dengan nama Artalita Suryani. Tidak disangka ada sebuah fenomena yang sangat begitu luar biasanya dengan kemunculan sosok yang dikenal sebagai 'Ratu Lobi' ini. Sebab, dalam khazanah budaya kita perempuan senantiasa didudukkan pada porsi yang serba lemah dan harus menurut pada kungkungan laki-laki. Bahkan, dalam filosofis budaya Jawa kita kenal pula bahwa perempuan hanya menjadi bumbu pelengkap bagi kekuasaan laki-laki. Meskipun di satu sisi dengan kondisi semacam ini sebenarnya keberadaan kaum hawa ini sangat dimungkinkan adanya penyetiran terhadap kekuasaan laki-laki. Salah satu contoh kasus, kekuasaan raja-raja Jawa senantiasa bermasalah ketika dikaitkan dengan keberadaan perempuan. Ken Arok misalnya, seorang penguasa yang sukses menapaki tampuk kekuasaannya dengan gagah berani ini bahkan harus dilumpuhkan oleh peran Ken Dedes. Konspirasi yang dimainkan secara cerdas oleh Ken Dedes telah mematikan karakter kekuasaan Ken Arok sedemikian halusnya. Hingga hampir tak tersentuh.

Dalam beberapa mitos di belahan dunia lain pun senantiasa kita temukan hal serupa. Dewa Zeus yang merupakan dewa tertinggi dalam keyakinan peradaban Yunani Kuno harus puas di bawah kendali Dewi Hera yang selalu bermusuhan dengannya. Bahkan, dengan kesemena-menaan Hera, Zeus tetap saja tak dapat berbuat banyak. Malah ia hanya menyerahkan persoalan itu kepada Hercules sang anak dewa itu dari keturunan manusia. Hal ini sungguh menampakkan betapa lemahnya posisi kaum Adam.

Dengan demikian, sebenarnya kedudukan perempuan amat sangat menentukan konstalasi politik secara tidak langsung. Dan pengakuan ini tidak hanya harus menjadi isapan jempol belaka. Ingat, dalam sebuah ungkapan pernah pula disinggung 'Perempuan adalah tiang agama'. Ungkapan ini jelas membawa sebuah konsekuensi yang sangat besar. Sebab, dalam ungkapan selanjutnya dikatakan pula 'Agama adalah tiang negara'. Jika kedua ungkapan tersebut disilogismekan, maka dalam hal ini dua pernyataan tersebut akan diperoleh sebuah titik temu 'Perempuan adalah tiang negara'.

Dari pernyataan tersebut sudah sangat jelas bahwa kegoyahan kekuasaan sebenarnya tidak disebabkan adanya percikan api akibat gesekan politik yang dimainkan aktor-aktor politik. Atau adanya proses politik yang sengaja digulirkan oleh kelompok-kelompok tertentu dalam meraih kekuasaan. Melainkan ini disebabkan adanya peranan perempuan di balik ini semua. Dalam hal ini perempuan memang tidak menampilkan sosoknya secara nyata namun kaum hawa ini hanya menjadi sosok pengukur waktu yang berada di balik layar dalam sebuah pertunjukan panggung dunia politik. Bagaimana tidak, kondisi tertekan yang dirasakan perempuan semakin lama semakin mendekati titik kulminasi. Semakin ia ditekan oleh sebuah konspirasi politik, maka kita tinggal menunggu ledakan dahsyat yang segera akan digulirkannya.

Saya ingat betul pada sebuah film yang menceritakan tentang Yunani Kuno yang dimainkan oleh Tom Cruise. Troy judulnya. Dalam film tersebut jelas perempuanlah yang memegang peran penuh atas konspirasi yang terjadi. Bukan Archiles maupun kaum laki-laki. Dalam film tersebut, menurut kacamata saya, Helena-lah sang pemegang kuncinya.

Dalam kasus yang kini ramai dibincangkan, Artalita menjadi tokoh kunci yang sebenarnya kalau mau ditelusuri lebih lanjut, akan dapat memunculkan dampak yang sangat luar biasa. Sayangnya, vonis hukuman telanjur dijatuhkan. Yang ini sama artinya dengan kasus ini akan segera berhenti. Sebab, semua kalangan yang terlibat dalam kasus ini tahu persis jika Artalita berhasil membuka pintu kebobrokan kekuasaan, maka semuanya akan hancur. Kekuasaan atas negara yang kini berada di genggaman laki-laki, dapat dipastikan akan terburai. Negara hanya menjadi bangkai yang tak berharga lagi.

Di satu sisi, saya melihat fenomena ketokohan Artalita patut menjadi catatan khusus bagi negara ini yang tengah terpuruk oleh kegamangannya sendiri. Di sisi lain kemunculan Artalita yang cukup mencengangkan kita, seharusnya menjadi sadar diri bahwa kekuasaan politik dengan model apapun itu. Dari demokrasi sampai theokrasi tetap harus memberikan porsi secara proporsional terhadap kaum yang sebenarnya tidak 'lemah' ini. Tidak hanya karena jumlahnya yang lebih banyak dari laki-laki. Melainkan karena perempuan sebenarnya makhluk yang sangat sulit untuk diterjemahkan oleh kekuasaan laki-laki.

Saya jadi teringat apa yang disampaikan Cak Nun (Emha Ainunnajib) dalam sebuah pengajian yang digelar beberapa tahun lalu di sebuah kampus di Semarang. Dia mengungkapkan dengan gayanya yang nyeleneh tentang konsep imam dalam shalat. Ditanyakannya pada semua yang hadir, "Kenapa perempuan selalu ditempatkan di shaf belakang setelah shaf terakhir laki-laki?"

Beberapa dari yang hadir menjawab, "Ya karena itu aturannya."

Cak Nun hanya tertawa mendengar itu. Dikatakannya, "Kalau itu karena sebuah aturan, habis perkara. Kajian akan selalu terhenti di situ dan tidak akan dapat mewacanakan konsepsi kekuasaan yang sesungguhnya. Nah, saya tanya lagi. Kenapa ada aturan semacam itu?"

Yang hadir hanya bengong.

"Ya karena perempuan makhluk terindah. Saking indahnya, perempuan selalu memunculkan multitafsir atasnya. Coba kalau perempuan ditempatkan di depan makmum laki-laki? Pasti akan memunculkan banyak pikiran dalam otak laki-laki. Bahkan, tidak menutup kemungkinan jamaah shalatpun akan bubar. Untuk itu, perempuan ditempatkan di belakang. Dan satu hal, karena makhluk terindah maka mereka ini harus dijaga. Bukan dimanfaatkan." pesannya.

Salam,

Robert Dahlan

25 Juli 2008

Pakailah Celanamu!

Dewasa ini banyak berkembang beberapa video maupun foto-foto yang menampilkan ketertelanjangan anak-anak manusia. Mereka ini bahkan dengan tanpa malu-malu berpose sedemikian rupa agar segala yang ingin ditonjolkan dari dirinya ini nampak jelas dan dapat dinikmati oleh orang banyak. Hingga pada suatu saat, mereka ini justru merasa bangga dengan tampilan yang 'ala kadarnya' itu. Tampilan yang sangat membuat jakun laki-laki naik turun dan membuat selaput mata kaum adam tidak rela untuk terkatup sedetikpun. Seolah ini semacam hipnotis atau sihir yang mampu memengaruhi kaum adam ini untuk tetap teguh dengan memandangi pose-pose yang sangat 'polos' itu.

Melihat kenyataan ini, saya lantas berpikir. Kenapa hal ini semakin menggila? Trend-kah? Atau hanya sebuah euforia belaka? Atau jangan-jangan memang itu sudah merupakan sebuah rangkaian panjang dari sebuah mata rantai sejarah masa lalu? Kalau memang iya, itu artinya kita tidak pernah melakukan perubahan terhadap peradaban dunia. Dan cenderung hanya mengulangi sejarah masa lampau dengan hasil-hasil peradabannya.

Di sisi lain, ketika banyak orang membincangkan hal ini sebagai trend yang berkembang di masyarakat akibat kemajuan teknologi yang memberikan kemudahan bagi umat manusia yang disalahgunakan, nampaknya anggapan yang demikian ini justru hanya mendangkalkan aras pemikiran yang lebih cerdas. Lebih-lebih dengan mengkaitkan masalah moral. Ini hanya semacam omong kosong yang siap dibuang ke dalam tong sampah. Sebab, pada prinsipnya kemajuan teknologi tidak pernah memberikan ruang bagi kebobrokan moral. Logikanya, justru teknologi hadir sebagai fasilitas yang memberikan kemudahan bagi umat manusia untuk dapat melakukan aktifitasnya sehari-hari. Itu artinya, penciptaan atau dalam setiap temuan baru mengenai perkembangan teknologi, didasari prinsip moral yang sangat luar biasa. Coba bayangkan, kalau tidak ada James Watt, mana ada kita akan kenal dengan yang namanya mesin uap? Begitu pula jika Einstein tidak memikirkan tentang sesuatu yang pada mulanya dianggap sia-sia belaka, tentunya kita tidak pernah mengenal apa itu energi nuklir? Dalam hal ini, ingin saya sampaikan, sebuah karya jenius--apapun bentuknya--merupakan hal yang patut kita syukuri bukan kita hujat. Kalau toh kemudian muncul penyalahgunaan, itu artinya orang-orang yang bersangkutan ini telah melakukan sebuah dosa terhadap sang kreator. Mereka-mereka ini justru tidak bersyukur sudah diberi kemudahan melalui tangan-tangan dan otak-otak yang luar biasa cerdas ini. Atau malah terlalu bersyukur sehingga lupa kacang akan kulitnya. Artinya mereka yang melakukan penyalahgunaan hasil pemikiran orang-orang hebat ini lupa tanggung jawabnya atas anugerah yang dilimpahkan Tuhan yang telah menciptakan manusia-manusia yang mungkin terlalu sedikit jumlahnya ini di dunia.

Kalau ini kemudian dianggap euforia, saya justru akan menanyakan. Euforia macam apa? Justru akan lebih tepat bila ini digolongkan sebagai ketidaksiapan umat manusia untuk menerima pemikiran orang-orang yang melampaui zamannya. Sebuah pengingkaran ketidakmampuan manusia-manusia yang biasa-biasa saja, yang tidak mampu mengembangkan teknologi. Dengan kata lain, ini sebuah bentuk kebodohan.

Nah, kalau begitu beberapa orang-orang penting di negeri ini yang sempat melakukan 'khilaf' itu bodoh dong? Ya memang! Kebodohan mereka ini memiliki pasal berlapis. Pertama, jika dikaitkan dengan masalah pengulangan peradaban, maka sebenarnya mereka ini justru orang paling bodoh sedunia. Bagaimana tidak, mereka ini kan seharusnya menjadi pioner atau katalisator dari perubahan zaman. Mereka pula yang seharusnya merumuskan dan mengarahkan bentuk-bentuk perubahan peradaban zaman yang tentunya lebih maju. Namun ironisnya, justru mereka mengalami pendangkalan pola pikir dalam melakukan terobosan-terobosan zaman. Mereka gagal membangun diri mereka sebagai figur yang mempunyai integritas serta desikasi terhadap kemajuan bangsa. Lah ini, kok malah bikin ulah dengan memotret atau bahkan merekam adegan 'blak-blakan' mereka sendiri?

Kedua, manakala hal tersebut dikaitkan dengan ketidaksiapan atau kekagetan mereka dalam menerima perkembangan zaman, maka mereka inilah tokoh-tokoh yang semestinya tidak kaget atau harus siap menerima apapun. Kok mereka ini malah justru memperlihatkan ketololan mereka dengan bangga? Buka-bukaan di kamar hotel, main kuda-kudaan di spring bad hotel, kemudian yang paling tolol lagi, mereka selalu berdalih 'itu sudah lama sekali dilakukan' atau 'itu bukan saya itu orang lain'. Lah sudah tahu akan malu eh, ini malah bikin malu sendiri? Dan yang lebih memilukan lagi ternyata mereka ini orang yang secara tidak langsung menunjukkan dirinya sebagai orang yang gagal produk dalam memanfaatkan teknologi. Lah masih kaget begitu?

Ah, mungkin benar pula yang dituliskan Taufiq Ismail dalam puisinya 'Malu [Aku] Jadi Orang Indonesia'. Bagaimana tidak, pejabatnya nggak tahu malu begitu. Kan akhirnya rakyat yang harus menanggung malu pejabat yang tolol itu. [Robert Dahlan Al Sadani]

Galeriku

Berikut adalah galeri desain dan beberapa lukisan saya....