31 Oktober 2008

Menulislah Untuk Indonesia

Salam,

Rupa-rupanya lama juga saya tidak menyambangi blog saya yang satu ini. Ya, harap maklum kesibukan untuk mencari sebuah jawaban atas kepastian nasib nampaknya harus tetap saya perjuangkan. Pekerjaan memang kadang membuat waktu kita semakin disibukkan untuk melupakan sesuatu yang sebenarnya mungkin sangat penting. Termasuk untuk mengisi waktu luang dengan menulis. Sebab, dengan menulis sebenarnya kita akan dibawa pada sebuah bentuk dunia yang sangat langka. Dunia yang dipenuhi kata, dunia yang benar-benar milik kita sendiri. Ah, kalau ngomong soal nulis, saya jadi ingat pada seseorang yang pernah berkuasa di negeri ini. Dia bukan orang pribumi, tetapi kecintaannya terhadap tanah Jawa begitu besar. Bahkan untuk menunjukkan kecintaannya itu, ia harus menulis sebuah buku yang sangat tebal. Siapa dia? Dialah Sir Thomas S. Rafles.

Kalau sekarang ini Anda sering menemui bukunya yang berjudul The History of Java di toko-toko buku, itulah cara ia mencintai tanah Jawa. Secara arif dan didasarkan pada pengalamannya Rafles yang dulu pernah menjadi gubernur di Jawa ini, menulis tentang kehidupan di tanah Jawa dengan cukup komprehensif. Ia menulis tentang seluruh bentuk kehidupan yang ada di sebuah pulau yang mengapung antara Laut Jawa dengan Samodra Hindia. Begitu lengkap.

Terus terang, saya sungguh dibuatnya kagum olehnya. Bagaimana tidak? Untuk seorang sebesar dia, tentunya ini akan sangat memakan waktu yang cukup lama untuk dapat menuliskan buku tersebut. Lebih-lebih harus didukung pula dengan data yang sangat komplit. Nah, coba bandingkan dengan sekarang ini. Negeri kita memang sudah merdeka. Kita pun memiliki pemimpin dari golongan kita sendiri, orang Indonesia. Tapi dari sekian banyak pemimpin yang timbul dan tenggelam ini, berapa dari mereka yang mampu menuliskan tentang Indonesia dengan baik? Padahal, mereka ini lahir dan dibesarkan di Indonesia. Tentunya mereka, para pemimpin kita ini paham betul soal Indonesia dengan segala persoalan yang tengah dihadapinya. Lantas kenapa kemampuan mereka untuk mengaktualisasikan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang Indonesia hampir dapat dikatakan tidak pernah terlihat?

Hal inilah yang membuat saya kadang teracuni oleh pikiran buruk saya. Jangan-jangan mereka ini tidak pernah memikirkan tentang Indonesia. Atau jangan-jangan mereka memang tidak pernah dapat memahami Indonesia yang sesungguhnya. Atau jangan-jangan mereka memang tidak memiliki kemampuan dan pola pikir yang maju. Sehingga hal tersebut membuat Indonesia semakin hari, semakin gampang untuk digoyahkan. Karena sepengetahuan saya, tidak ada satupun dari mereka ini mampu merumuskan ideologi ke-Indonesia-an.

Pancasila, mungkin sampai saat ini masih menjadi sebuah rumusan yang cukup ampuh untuk memperlihatkan identitas Indonesia. Namun pada perkembangannya, ia kembali harus dipertanyakan lantaran banyak hal yang kemudian dalam penafsirannya ternyata banyak ditemukan sebuah kesalahan konsep pemahamannya. Terutama ketika periode kekuasaan Soeharto sebagai presiden RI.

Pada akhir periode kekuasaan Soeharto pun, Pancasila nampaknya belum cukup dapat ditafsirkan secara signifikan. Konsep-konsep pembangunan politik rakyat Indonesia pada era yang kemudian dikenal sebagai era reformasi ini, juga kembali harus termakan oleh isu-isu mengenai peradaban masyarakat dunia yang diistilahkan dengan globalisasi. Sebuah tradisi masyarakat dunia yang mencoba mendobrak batas-batas semu mengenai entitas teritorial politik.

Kehadiran Gus Dur yang waktu itu merupakan sebuah upaya politik yang cukup gemilang untuk kembali merumuskan makna Pancasila ini pun ternyata terjegal dengan adanya proses politik yang saya kira tidak terlalu sehat. Yang kemudian memaksa Gus Dur harus ikut ter-lengser keprabon-kan oleh sebuah konspirasi politik di tingkat elit. Mungkin karena ia terlalu percaya diri untuk mendobrak sekat-sekat politik yang terlalu kaku yang membuat politik di Indonesia tidak menampilkan wajahnya yang cantik. Gus Dur terkorbankan dan tertimpa dinding penyekat politik yang ia dobrak sendiri tanpa teman.

Sementara tokoh lain seperti Amin Rais, nampaknya tidak dapat berkutik lantaran posisinya yang berada pada puncak kekuasaan politik, sebagai pelambangan atas kekuasaan rakyat, telah membuatnya terbungkam. Amin Rais, yang pada waktu itu tampil anggun di atas kursi ketua MPR nampak seperti orang yang tak dapat berbuat banyak untuk menyelamatkan bangsa yang chaos ini. Sehingga, ketokan palu yang ada di genggamannya terpaksa harus menyudahi era kepemimpinan Gus Dur, lalu menggantikannya dengan seorang perempuan pertama yang menjadi presiden RI, Megawati Soekarnoputri.

Era keemasan Megawati ini sebenarnya cukup mendapatkan respon yang cukup besar kala itu. Sebab, rakyat pada saat itu nampaknya haus akan kemunculan roh Marhaenisme yang diajarkan Soekarno, presiden RI pertama itu. Rakyat berharap, dengan hadirnya Megawati roh itu benar-benar terejawantahkan. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kekacauan sistem ekonomi rupa-rupanya menjadi penghambat bagi proses pemunculan reinkarnasi ideologi Marhaenisme ini. Bahkan, saking tidak kuatnya menahan serangan-serangan dalam peperangan sistem ekonomi global ini, Megawati terpaksa harus menjual beberapa aset negara yang cukup vital. Alhasil, kepercayaan masyarakat pun kian melemah. Kemunculan roh Marhaenisme yang diharapkan akan dapat membuka tabir siapa sesungguhnya Indonesia ini pun gagal. Suara Soekarno tidak lagi menggelegar seperti saat-saat ia berpidato di podium-podium. Tentu bendera pusaka yang dijahit oleh sang Ibunda Fatmawati pun terkulai lemah. Sebab, angin segar perubahan yang diingini rakyat tak jua tiba.

Karena kecewa, rakyat pun mulai frustasi. Sehingga pada saat pemilu 2004 yang lalu, rakyat mulai melakukan sebuah gambling tentang pemimpin mereka. Karena tak ada pilihan lain, SBY lah yang kemudian dijadikan sebagai obat stress rakyat.

Semula kepemimpinan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) sedikit membawa angin segar bagi rasa kecewa rakyat. Namun semakin lama dirasakan, rakyat mulai bertanya-tanya. Sebenarnya arah politik SBY ini kemana?

Jelas, hal tersebut tidak terjawab. Kehadiran SBY yang berpasangan dengan JK (Jusuf Kalla) semakin hari semakin tak dapat menjelaskan mengenai ke-Indonesia-an itu sendiri. Konsep politik yang diperankan dua tokoh ini nampaknya lebih cenderung pada pola (yang dalam istilah mereka) penyehatan ekonomi. Namun tugas inti mereka untuk merumuskan kembali ideologi bangsa ini sepertinya terlupakan. Bahkan, selama saya mengamati perjalanan kekuasaan mereka ini, baik SBY maupun JK justru terjebak pada sebuah bentuk tradisi masyarakat dunia. Gonjang-ganjing sistem ekonomi yang mereka bangun pun menjadi sebuah pemandangan yang sangat memprihatinkan. Kemiskinan yang kian merajalela, pengangguran yang kian bengkak jumlahnya, dan segala persoalan yang tidak mampu mereka jawab semakin membayangi kekuasaan mereka.

Dari pengalaman-pengalaman buruk yang dialami negeri ini saya kira cukuplah memberikan sebuah pemahaman pada kita. Bahwa selama ini, apa yang dinamakan konsep pembangunan politik rakyat nampaknya masih hanya sebatas wacana yang tidak mampu diselesaikan pada satu titik terakhir. Hal ini dalam catatan saya dikarenakan adanya kegagalan kekuasaan dalam menerjemahkan entitas teritorial politik dari semua aspek, terutama terkait dengan masalah budaya.

Oleh karenanya, saya kira perlu bagi kekuasaan untuk kembali merumuskan budaya Indonesia yang sebenarnya. Bukan justru membentuk budaya baru yang tidak didasari pada pemahaman budaya asali Indonesia. Kita memang perlu banyak belajar dari sejarah untuk menciptakan sejarah baru. Bukan mempelajari sejarah sebagai sebuah romantisme masa lalu belaka. Rafles, telah memberi kita cukup bukti. Lantas kenapa kita enggan untuk mempelajarinya? Apa karena Rafles keturunan dari bangsa penjajah? Saya kira kalau memang demikian, hal ini terlalu naif untuk dilakukan oleh sebuah bangsa besar.

Mungkin pada paragraf terakhir ini saya akan sedikit bertanya kepada diri sendiri dan juga pada Anda. Kenapa bangsa seperti Israel itu bisa maju? Jawabannya karena mereka mau belajar dari sebuah pengalaman pahit yang mereka sengaja kunyah dari masa lalu. Untuk itulah, mereka terus berupaya untuk tetap maju, terlepas dari konflik yang tengah melanda di negara Timur Tengah tersebut. Akhirnya saya hanya akan memberi sedikit catatan pada diri saya juga Anda. Yuk, mulailah belajar dari kepahitan ini.... Dan mulailah dengan menulis. Karena dengan menulis, otak kita tidak terbiarkan mati.

Salam,
Robert Dahlan

Tidak ada komentar:

Galeriku

Berikut adalah galeri desain dan beberapa lukisan saya....